Aku
tidak tahu. Apa yang sedang dipikirkannya.
Wajahnya
sendu. Terlihat datar dan hanya mengisyaratkan keteduhan yang beralaskan cemas yang
ia perlihatkan.
Duduk
terdiam di sudut sebuah ruangan. Sepertinya banyak yang mengganggu pikirannya. Dan
rasanya, setiap orang yang memiliki kepekaan, pasti ingin menemuinya dan
menanyakan keadaan atau sekedar ingin menghiburnya.
Tapi,
ternyata tidak ada yang berhenti. Semuanya berlalu-lalang memikirkan jalannya
masing-masing.
Ingin
rasanya, aku menariknya keluar dari kesedihan yang sepertinya sangat mendalam
ia rasakan. Aku mengerti, karna jelas terlihat bagaimana ia sengaja menutupi
keadaan emosionalnya agar orang lain tidak mengetahui. Namun, ini justru yang
membuatku semakin tahu bahwa ia sangat sangat menderita kesakitan. Batin
mungkin.
Tapi,
rasanya juga. Bila aku mengajaknya keluar dari zona itu, sekedar menikmati hawa
ataupun menari dibawah rintik hujan… aku justru akan semakin mengganggunya.
Mungkin
memang sudah seperti itu, ia adalah seorang yang mampu menyelesaikan masalahnya
tanpa melibatkan orang lain ke dalamnya.
Aku memperhatikannya
dari jauh, benar-benar menyimaknya. Terlihat ia mengeluarkan buku kecil dari
saku tasnya, aku rasa itu sebuah buku harian. Ya, terlihat dua sisi yang
mencerminkan dirinya. Terkadang dia ekstrovert di depan orang-orang, agar ia
tidak dicurigai karena sedang mengalami berbagai masalah. Namun, di sisi lain
ia menunjukkan sisi introvertnya yang hanya ingin dirinya saja yang mengetahui.
Ia menuliskan
lembar-demi lembar, dengan sesekali menitikkan air mata. Entahlah. Sudah aku katakana,
aku tidak bisa menebak apa yang sedang ia tulis.
Ia benar-benar
ahli dalam menyembunyikan kesedihannya, dengan tertutup kacamata dan posisi
kepala yang menunduk, ia mampu membuat orang-orang yang sesekali berjalan
melewatinya untuk tidak mencurahkan perhatiannya pada kesedihan yang
dirasakannya. Padahal, bila secara fokus dilihat, ia benar-benar memecahkan
tangisannya sembari terus menulis. Dan setelah selesai menulis, ia kemudian
menutup bukunya, mengelap kacamatanya yang berembun, membenarkan posisi dan
merapikan diri. Kemudian seperti kesedihan yang sudah hilang, ia beranjak dari
sudut ruangan itu kemudian berjalan seperti seorang biasa lainnya yang lupa
akan masalahnya dengan mengubah kepribadiannya menjadi ekstrovert dan periang
kembali di depan teman-temannya maupun publik yang bersamanya.
Ah...
Benar-benar
cara yang sangat pintar untuk mampu berdiri di tengah tegaknya duri-duri yang
samar tertancap.
"Ya,
tapi. Kamu tidak akan pernah bisa menyembunyikannya dariku.
Tidak akan pernah
bisa.
Tidak akan pernah"
Keren tulisannya :-)
BalasHapusTerimakasih, mas cycle bikers :)
BalasHapus