Aku belajar mengetahui sesuatu yang berbeda dari segi
penglihatanku, yaitu melalui sudut pandang seorang laki-laki sebayaku.
Aku belajar mengenai dia yang enggan memberikan telapak
tangannya secara sembarangan.
01 Mei 2013.
Sekitar pukul 10.00
Terhenti oleh denting waktu.
Waktu itu aku melihatnya. Ketika ia diminta
untuk memberikan jabat telapak tangannya, untuk sesuatu yang ia pikir tidak
beralasan.
Mungkin bila untuk sekedar merekatkan
silaturahmi, aku yakin laki-laki itu akan segera memberikan jabat tangannya.
Tapi kali ini, aku melihatnya sedikit heran dan bingung, mengapa ia diminta
memberikan jabat tangannya. Ia menyadarinya. Dan akhirnya ia memberikan jabat
tangannya kepada seseorang yang ingin menyalaminya. Ya, ia disalami karena
sebuah alasan. Namun sepertinya alasan itu menjadi berbeda karena penyampaian
dan caranya yang sedikit salah dari maksud awal.
Dan
pada akhirnya, ada 2 hal yg terjadi.
Hiburan
dan sebuah anekdot.
Setelah kejadian itu, kemudian ia kembali ke
kursinya sembari berkata padaku, ''hampir
saja.'' Aku menoleh, mencoba merangkai kata demi kata secepatnya untuk
menjawab ucapannya. Lalu dengan sigap namun terbata oleh derup nafas yang
sedikit tidak beraturan, ia mulai berbicara. Menjelaskan tetapi tidak dengan
kata-kata penjelas. Aneh memang. Tapi aku mengerti. Karena semuanya begitu
jelas tergambar dari guratan wajahnya.
Ya, sejurus kemudian terlihat bibirku
menyimpul memberikan sebuah senyum kecil. ''Bukankah,
masih harus ada mahar?'' kataku seraya menggodanya. Ia pun terhenti, matanya
tiba-tiba tidak berarah, tulang pipi dan pola wajahnya terlihat sedikit
mematung, juga datar menghadap ke arah depan tepat. Kemudian ia seperti merasa
hening dalam ketermanguan waktu. Namun hanya sejenak. Dan kemudian lehernya
tergerak untuk berputar ke arahku. Matanya memandangku, memberikan sebuah
isyarat untuk mempertimbangkan perkataan apa yg baru saja aku lontarkan.
Melihatnya seperti belum mau memberikan
jawaban atas pertanyaanku, kususulkan kembali sebuah pertanyaan. ''Kenapa? Takut? Bukankah harus
dipersiapkan dari sekarang?'', aku masih menatapnya.
Lalu dengan sigapnya ia menjawab. ''Bukan takut''.
Bukan takut? Tanyaku dalam hati. Secepat
kemudian aku tanyai kembali, ''Lantas?''
Akhirnya ia menjawab. ''Aku tidak takut. Tapi aku belum siap''.
Namun bagiku, jawabannya belum cukup
menjawab pertanyaanku. Walaupun sebenarnya akupun tahu, sebersit ekor matanya
telah menggambarkan betapa sisa jawaban itu ia simpan dan akan ia jawab tanpa
ragu pada suatu saat nanti.
Ya, dia benar. Dia butuh waktu untuk
mempelajarinya, hanya sedikit waktu saja untuk melengkapi sebuah kalimat
jawabannya. Ia benar-benar memukul keras pikiranku. Ia telah mengetahui bagian-bagian apa saja yang belum ia siapkan.
Begitu banyak, sehingga terkadang 'takut'
adalah sebuah kata palsu untuk menggambarkannya. Tapi bila tahu apa yang
sebenarnya, ia tidaklah jera dalam menjaga telapak tangannya. Ia begitu memikirkan kesiapan dari dirinya.
Dan
dari sana aku belajar, bahwa seorang laki-laki memang tidak boleh sembarangan
memberikan jabat telapak tangannya, terkecuali berjabat tangan untuk menjaga
tali persaudaraan/silaturahim.
Mengapa?
Karna
telapak tangannya adalah kepastiannya. Ialah yg memegang kepastian dalam
hidupnya, dan ketika kepastian lewat isyarat gurat garis tangannya ia berikan,
maka ia akan memberikan kesiapan dari hidupnya.
Terimakasih.
Sebuah
hal kecil ini memiliki arti dan pelajaran baru untukku.
catatan: mahar bukan termasuk rukun nikah.
Inspired by: M.A.F
Tulisannya bagus :D
BalasHapusnuwun mbak :)
BalasHapus