Langit perlahan menarik senja untuk turun.
Engkau bersama kenangan dan perasaan itu kembali......
***
Kala itu, aku menantinya
dengan berdiri bersandar di pinggir sebuah jendela. Jendela dengan sudut kanan
atasnya memantulkan sinar temaram dari bias kuning kejinggaan langit diluar
sana.
Lalu….
Kepakan kecilnya terdengar dari kejauhan. Ya. Burung pipit menghampiriku.
Ia menitipkan pesan kepadaku. Namun bukanlah pesan yang berupa
surat dan ditulis dengan tinta hitam. Tetapi hanyalah sebuah pesan yang
disampaikan lewat kicauan merdunya.
***
‘kau’ akan kembali, katanya.
‘kau’ akan datang, katanya.
‘kau’
akan hinggap di hidupku kembali, katanya.
***
Aku tak
tahu apakah pesan itu milik seseorang yang telah mencuri hatiku?
Yang hatinya
telah mencuri perasaanku?
Atukah
hanya hiburan dari sang pipit untukku?
Aku tersenyum. Senja itu, ku
tengok seberkas masalalu yang berkelebat di dalam benak. Masalaluku tentang
bagaimana hatiku ingin berbicara. Dimana ia akhirnya hanya bisa berbicara
dengan hati dan perasaannya sendiri.
Kembali aku
memikirkan isi pesan sang pipit.
Apakah
benar begitu adanya?
***
Pipit kembali mengagetkanku. Berkicau untuk membuyarkanku
dari tengokanku pada masalalu. Sepertinya ia tahu bila aku terlalu rapuh untuk
bertahan lama didalam cerita masalalu itu.
Aku sadar, pipit ini membutuhkan sebuah balasan pesan yang
akan kembali disampaikannya untuk seseorang yang telah mencuri hatiku, yang hatinya
telah mencuri perasaanku.
Ia berkicau, berkicau, dan berkicau. Ia ingin menasehatiku.
Lalu, pipit itu terdiam.
Menghentikan sejenak kicauannya. Menatapku. Melihat kekosongan mataku. Namun
aku tahu, burung pipit ini tahu apa yang aku rasakan sekarang.
Tanpa aku mengeluarkan
sepotong kata, ia tengah mengerti dan mengucap salam perpisahan untuk terbang
kembali
Aku mengangguk.
Tersenyum dengan simpul kecil di bibir.
Ya. Pipit itu mendongak ke arahku, menatapku kembali, seperti
memberiku sebuah senyum kecil. Ia berkicau sekali, dan akhirnya pergi.
***
Pipit itu
telah menuliskan segala sinyal dan isyarat yang kuberikan.
Memang.
Jika dia yang telah mencuri hatiku, yang hatinya telah mencuri perasaanku akan
datang dan kembali hinggap di dalam hidupku, akan sakit bagiku untuk mengingat
apa yang lalu telah terjadi, apa yang dahulu telah aku rasakan. Namun, sudah saatnya aku harus jujur dan tidak menyakiti perasaanku
kembali. Aku telah berdusta pada hatiku untuk berpura-pura merasa hatiku
tak tercuri olehnya.
***
Dari kejauhan, kulihat pipit itu
terbang bebas membawa pesanku. Aku lega. Merasakan pesanku akan disampaikan.
Kembali. Aku tersenyum.
Pipitku, terimakasih.
Sampaikanlah apa yang hatiku
ingin sampaikan pada perasaannya.
Akhirnya, perlahan
tapi pasti, dengan tanpa ada keraguan,
Hatiku telah berbicara.
Kini, ia telah berbicara.
***
Senja masih bernaung dan
bersenandung di langit bumi. Aku pun juga menikmati setiap warna yang dilukiskan
senja dengan kuning semu jingganya.
Dan
perlahan bibirku melengkungkan sebuah senyuman kembali.
Terimakasih
jingga senjaku.
Terimakasih
sudah menjadi saksi untukku, saksi ketika aku mengeluarkan dan melukiskan
segala perasaan yang telah tumpah di hatiku. Semoga dia yang hatinya telah
mencuri perasaanku, tahu akan bagaimana rasanya aku menghargai sebuah rasa yang
telah ditinggalkan oleh hatinya dan membekas di sebuah ruang dalam hatiku.
Ya. Terimakasih.
Semoga,
kelak ketika dia telah hadir di depanku dan menggenggam tanganku untuk berjalan
ke masa depan, aku sudah mengetahui bagaimana isi semua sandi dari hatinya untuk
perasaanku.
Dari hatinya untuk
perasaanku.
Untuk sebuah rasa yang
dikuasai oleh arti “cinta”
Komentar
Posting Komentar