Mencari Guru Sejati


Kutipan cerita rakyat dari Jawa Tengah

Kerajaan Demak berada di Jawa Tengah. Di saat itu hiduplah seorang Pangeran bernama Raden Made Pandan. Beliau terkenal sebagai ulama dan seorang bangsawan, sehingga banyak orang yang segan kepadanya. Dia mempunyai anak laki-laki yang bernama Raden Pandanarang. Anak itu dikenal sangat sopan, baik, ramah-tamah juga berbakti terhadap kedua orang tua.
Kemudian Raden Made Pandan mengajak anaknya serta pengiringnya untuk pergi meninggalkan Kesultanan Demak. Mereka bersama-sama menuju ke arah Barat. Perjalanan mereka memakan beberapa hari, dan sampailah mereka pada tempat yang dianggap cocok untuk didiami. Lalu mereka mendirikan pondok pesantren, sekaligus membuka lahan pertanian. Hutan yang ditebang itu selain digunakan untuk mendirikan rumah, pesantren, juga akan digunakan untuk daerah pertanian. Di tempat yang baru ini Raden Made Pandan mengajarkan ilmu agama islam. Yang pertama menjadi santrinya yaitu para pengiringnya tersebut, kemudian lama-kelamaan banyak orang berdatangan karena ingin menimba ilmunya. Di tempat inilah Raden Made Pandan merasakan senang hati hidup bersama putranya, sehingga punya harapan, bahwa anaknya nanti bisa menggantikan dia untuk menjadi guru agama islam di tempat yang mereka diami itu.
Dalam usia yang tua dan merasa akan segera menghadap Allah, maka beliau berwasiat kepada putranya yang bernama Pandanarang, “Anakku! Ayah berwasiat kepadamu, bahwa jika aku meninggal dunia, maka teruskanlah perjuangan ayah, sebarkan agama islam di daerah ini, sambil mengolah pertanian di sekitar daerah ini. Kamu jangan sampai berputus asa dan jangan pula meninggalkan daerah ini. Berpeganglah kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasul, insya Allah hidupmu akan selamat dunia-akhirat”.
Wasiat dari ayahnya itu benar-benar diperhatikan, hingga dia meneruskan perjuangan ayahnya, menjadi guru agama, menyampaikan ilmu agama kepada masyarakat setempat, sampai mengelola tanah pertanian dengan menghasilkan pangan yang melimpah ruah. Dalam waktu yang relatif singkat, banyak orang berdatangan untuk belajar ilmu agama islam.
Pada suatu hari, ketika Raden Pandanarang bersama pengikutnya menggarap lahan pertanian, tiba-tiba dia melihat sesuatu yang aneh, yaitu diselah-selah pepohonan yang subur dan menghijau itu terlihat beberapa pohon asam tumbuh saling berjauhan. Dari sekian banyak orang yang melihatnya itu merasa aneh. “Mengapa pohon-pohon asam itu tumbuh berjauhan, padahal tanahnya subur sekali”, tanya Raden Pandanarang. Para pengikutnya berkata, “Memang benar hal ini merupakan kejadian yang aneh”. Dengan kejadian yang nyata ini, Raden Pandanarang mengatakan bahwa daerah ini saya beri nama Semarang, yaitu dari kata Asem yang jarang-jarang. Demikianlah asal-usul nama kota Semarang, yang kini menjadi kota ramai di Jawa Tengah. Yang mendirikan dan membuka pertamakali kota Semarang, yaitu Raden Pandanarang, sehingga dia diangkat langsung sebagai pimpinan serta mendapat gelar Ki Ageng Pandanarang I.
Lambat alun Ki Ageng Pandanarang I meninggal dunia, sehingga sebagai gantinya putranya Ki Ageng Pandanarang II. Daerah Semarang dibawah kepemimpinan Ki Ageng Pandanarang II mengalami kemajuan pesat, dibalik kemajuan dan kemakmuran itu dia mulai terlena, siang dan malam menggeluti masalah urusan dunia saja, padalah dia adalah guru agama. Dia mulai lupa terhadap kewajibannya sebagai guru agama.
Suatu hari datanglah Sunan Kalijaga untuk menyadarkan Ki Ajeng Pandanarang II itu. Sunan Kalijaga itu menyamar sebagai penjual rumput, sementara ternak Ki Ageng Pandanarang II banyak sekali. Ki Ageng Pandanarang dikenal sebagai seorang bupati, tetapi dia juga punya bakat seorang saudagar. Memang dia pandai sekali mengambil keuntungan dari usahanya itu. Dia berdagang emas, permata, intan, sapi, dan kambing. Dia mempunyai istri empat, sementara anaknya banyak sekali.
Dia juga mempunyai kendaraan bagus, yakni seekor kuda terbaik dari Sumbawa. Berhubung sapi dan kambingnya banyak, setiap pagi tentu saja membutuhkan beberapa keranjang rumput untuk makanan sapi dan kudanya.
Pada musim kemarau memang sulit untuk mencari rumput, sehingga karyawannya terlambat membawa rumput untuk makanan sapi dan kudanya. Tiba-tiba datanglah seorang penjual rumput sambil dipikul. Terjadilah tawar menawar. Memang sepikul itu harganya sekian, tetapi masih ditawar lagi, sehingga penjual rumput itu langsung memberikannya.
Hari berikutnya dia membawa rumput yang masih segar dan hijau. “Dari mana kamu memperolehnya?”, tanya Ki Pandanarang. “Rumput ini saya peroleh dari Gunung Jabalkat”, jawab si penjual rumput. “Aku heran karena Gunung Jabalkat itu jauh sekali”, gumam Ki Pandanarang. Lalu rumput itu dibelinya, dan dia tidak sampai beranjak kaki dari tempat itu. “Hai pak! Menunggu apa tuan, kok masih disini? Hai tuan sedekahlah kepadaku!”, seru si penjuak rumput. Lalu Ki Pandanarang mengambil uang dalam sakunya dan dilemparkan kepada penjual rumput itu dengan pandangan sinis. “Aku tidak minta uang, tetapi yang kuminta yaitu bedhug berbunyi di Semarang”, ujar si penjual rumput. Mendengar perkataan ini, Ki Pandanarang penasaran. Dalam hal ini berarti sama dengan minta mendirikan masjid di kota Semarang, sekaligus menyebarkan agama islam di tempat itu. Lalu Ki Pandanarang berkata, “Ah begini saja, kau cepat ambil uang ini, jangan minta sesuatu yang aneh-aneh”. Penjual itu pun kembali berkata, “Aku tidak membutuhkan uang, karena harta (uang) tidak bisa menjamin seseorang bisa selamat di alam akhirat yang abadi”. Perkataan penjual rumput itu sempat membuat marah Ki Pandanarang. Seketika itu Ki Pandanarang berkata, “Hai pedagang rumput, mengapa kamu meremehkan uang, padahal dengan uang kamu bisa mengatasi segala-galanya, hidup bisa bahagia, teratasi dari kebutuhan, juga banyak orang yang merasa segan”.
Penjual rumput itu berkata lagi, “Saya kira tidak bisa segala-galanya bisa diatasi dengan uang. Kalau punya prinsip seperti itu berarti tidak lagi memperdulikan halal dan haram memperolehnya, sehingga menjadi orang yang hina”.
Mendengar perkataan yang menyengat di telinga, Pandanarang semakin marah dan wajahnya memerah. Ia pun berkata, “Hai penjual rumput, mengapa kamu bicara begitu, apakah kamu menganggap bahwa daganganmu itu bisa mengatasi segala kebutuhan keluarga dan dipandang mulia dihadapan orang?”
“Tentang harta yang saya peroleh untuk kebutuhan keluarga, saya selalu ikhlas atas pemberian Tuhan. Saya tidak rakus. Seandainya saya hidup hanya mendambakan emas permata belaka, maka setiap saya mencangkul tanah saya bisa menemukan emas permata”
“Omonganmu semakin tidak kau sadari, bahkan setiap kata-kata yang kamu keluarkan itu sombong sekali. Sekarang buktikan! Jika benar-benar terjadi, maka aku akan berguru kepadamu dan jika kamu hanya sekedar main sulap di hadapanku, maka kau harus siap aku hukum dengan berat”, Ki Pandanarang menyuruh pelayannya mengambil cangkul, lalu diserahkan kepada saudagar rumput itu.
Dengan perasaan yang tenang, cangkul diayunkan dengan pelan, lalu ditarik pelan-pelan, hingga keluarlah bongkahan emas permata dari dalam tanah. Banyak orang yang berdiri di sekelilingnya melihat kejadian yang takjub ini, bahkan Pandanarang sendiri menyaksikannya. Tanpa disadari oleh Pandanarang, penjual rumput itu tiba-tiba pergi. Dengan kejadian aneh ini, dia baru sadar bahwa yang dihadapi itu adalah orang yang benar-benar sakti dan tinggi ilmunya. Pandanarang lalu mengejar kemana penjual rumput pergi. Dan akhirnya lelaki itu juga bisa dikejar dan ditemui.
Penjual rumput mengatakan, “Mengapa kamu harus menemui aku? Apakah kamu masih kurang dengan bongkahan emas itu?”
“Bukan itu yang aku maksud”
“Lalu apa maksudmu?”
“Saya benar-benar ingin berguru pada Tuan”
“Berguru tentang apa? Apa berguru tentang masalah harta?”
“Tidak Tuan, saya benar-benar ingin menimba ilmu agama islam dengan sedalam-dalamnya, kemudian akan saya ajarkan kepada masyarakat Semarang”
“Maukah kau memenuhi permintaanku menyembunyikan bedhug di Semarang?
“Ya Tuan. Berkorban apa saja, baik harta, maupun jiwa saya siap”
“Bila kamu benar-benar ingin berguru kepadaku, maka mulai sekarang kamu harus menjalankan ibadah selama kamu hidup ini, mengerjakan shalat lima waktu, beramal saleh, mendirikan masjid, bersedekah kepada fakir dan miskin atau kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Jangan sekali kali kamu terpikat dengan harta yang banyak. Itu akan membuatmu terlena hingga kewajiban ibadahmu bisa lalai. Serta perlu kamu ketahui juga, bahwa orang berguru itu rumahnya harus ditinggalkan. Bila kamu bisa memenuhi apa yang saya pesan tadi, maka segeralah menyusul aku ke Gunung Jabalkat.”
“Wahai Tuan, siapakah sebenarnya Tuan ini?”
“Aku adalah Sunan Kalijaga yang mendapat perintah dari Dewan Walisongo agar mengajak kamu untuk bergabung dengan anggota Walisongo menggantikan Syekh Siti Jenar yang telah meninggal dunia sebab dihukum mati.
Mendengar kebesaran nama Sunan Kalijaga, Lalu Ki Pandanarang memandang dengan penuh hormat, tetapi saat itu juga Sunan Kalijaga lenyap dari pandangannya.
Kemudian pulanglah Ki Pandanarang. Perbuatannya berubah total. Dia membayar zakat, suka menyantuni fakir miskin, bahkan sebagai pemrakarsa pembangunan masjid. Mencari kayu dan kulit sapi yang bagus untuk dijadikan bedhug. Perilaku yang baik itu dikerjakan dengan penuh keikhlasan semata-mata mencari ridha Allah SWT. Sesudah itu, dia bermaksud untuk menyusul Sunan Kalijaga, sehingga urusan itu semua diserahkan kepada putranya yang tertua. Tekadnya sudah bulat untuk berguru kepada Sunan Kalijaga, dan meninggalkan segala urusan duniawi.
Menjelang keberangkatannya, tiba-tiba diantara istrinya ada yang ikut untuk mendampingi Pandanarang. “Kamu boleh ikut ke Gunung Jabalkat, tetapi jangan membawa harta” kata Pandanarang.
Pandanarang bersama istrinya berpakaian serba putih lalu berangkat berjalan kaki menuju Gunung Jabalkat. Suaminya berjalan didepan sambil membawa tongkat, sementara istrinya mengikuti di belakangnya sambil membawa tongkat bambu yang diisi dengan emas permata. Ki Pandanarang yang berjalan di muka dan agak jauh dengan istrinya dihadang perampok, berhubung sedikitpun tidak membawa harta, lalu dia dilepaskannya. Istrinya yang agak jauh berjalan dibelakangnya juga dihadang perampok, tongkatnya dirampas, emas yang ada di dalam tongkat tersebut dikeluarkan dan dijadikan rebutan perampok tersebut. Kejadian ini membuat istri Pandanarang menangis berteriak teriak sambil memanggil suaminya yang agak jauh di depan. Dengan suara yang keras istrinya memanggil suaminya, “Mas ada perampok ada yang berbuat salah sebanyak tiga orang. Tolong……! Tolong…….!”. Maka, tempat kejadian ini sekarang dinamakan Salatiga. Dan hingga sekarang masih dinamakan kota Salatiga yang ada di Jawa Tengah.
Dengan langkah yang agak cepat, akhirnya istrinya tadi bisa menyusul suaminya, lalu ia menceritakan kejadian yang baru saja ia alami. Tetapi suaminya tidak kaget, karena sebelum berangkat sudah berpesan untuk tidak membawa harta. Tapi istrinya tidak mengindahkan pesan tersebut dan menerima akibatnya. “Harta itu hanyalah penghalang tujuan kita berguru. Untuk itu, mulai sekarang kamu yang berjalan di muka” kata suaminya. Dalam perjalanan tersebut istrinya di muka sedang suaminya di belakang. Dalam waktu singkat Ki Pandanarang dicegat perampok yang dikenal sebagai Ki Sambangdalan. “Semua hartamu harus diserahkan, bila kamu tidak mau menyerahkan, maka kamu harus siap saya hajar habis-habisan”, kata perampok itu. “Apa yang harus saya serahkan? Sedikitpun saya tidak membawa harta”, jawab Ki Pandanarang. Perampok itu tidak percaya sambil merebut tongkatnya, berkata, “Dimana kau sembunyikan hartamu?”. “Aku tidak membawa harta”, ucap Ki Pandanarang lagi, sambil berjalan terus. Ki Sambangdalan terus mengikuti langkah Ki Pandanarang. Ucapan ancaman dengan keras tetap diucapkan, tetapi anehnya dia tidak berani memegang Ki Pandanarang, dan membiarkan Pandanarang berjalan terus. Perjalanan Ki Pandanarang terus diikuti oleh Ki Sambangdalan dengan diiringi ancaman keras.
Mendengar ucapan itu, Ki Pandanarang merasa bosan hingga dia berkata, “Kamu ini keras kepala, seperti domba saja!”. Seketika itu kepala Ki Sambangdalan berubah menjadi kepala kambing. Tetapi dia tidak merasa dan tidak pula sadar. Sehingga terus mengikuti perjalanan kemana tujuan Ki Pandanarang pergi. Lama kelamaan sampailah di tepi sungai. Melihat air sungai, Ki Sambangdalan tidak enak. Karena takut basah pakaiannya, sehingga dia hanya melihat bayangannya yang ada di dalam air. Ternyata bayangannya sendiri pada air jernih itu berubah menjadi kepala kambing, hingga dia menjerit dengan keras, “Mengapa mukaku berubah menjadi kepala kambing?”. “Itu karena kesalahan yang kamu lakukan”, kata Ki Pandanarang. “Tolong kembalikan wajah semulaku”, pinta Ki Sambangdalan. Mendengar perkataannya yang penuh dengan ketakutan itu, Ki Pandanarang hanya diam saja. Tetapi Ki Sambangdalan terus mengikuti langkah Ki Pandanarang. Jauh benar perjalanan yang telah ditempuh dan kini sampailah ke tempat yang dituju. Sampai di Gunung Jabalkat, Sunan Kalijaga tidak ada. Karena sedang pergi berdakwah ke luar daerah.
Ki Pandanarang berkata, “Bila kamu, Ki Sambangdalan ingin kembali seperti semula, yakni menjadi manusia yang normal, maka kamu harus mau bertirakat dan bertaubat. Dan sebagai tebusan dosamu yaitu, kamu harus mengisi jun (gentong) dengan air di bawah bukit.” Jun itu dalam keadaan terbuka. Sehingga ketika Ki Sambangdalan membawa air sampai di atas bukit, airnya sudah habis. Berhubung ingin kepalanya kembali ke semula, maka pekerjaan ini dilakukan dengan ikhlas, sambil bertaubat kepada Allah. Dia tidak putus asa dengan pekerjaan yang dilakukan itu.
Kemudian datanglah Sunan Kalijaga dan ketiga orang itu duduk, seketika itu juga hilanglah kepala kambing, sehingga berubah dan kembali seperti semula. Dan jun sebagai tempat wudhu itu tiba-tiba pula penuh dengan air, tanpa ada yang mengisi. Lalu ketiga orang itu akhirnya belajar ilmu agama islam dan sebagai gurunya, yaitu Sunan Kalijaga.
Keduanya berhasil dalam menimba ilmu dari Sunan Kalijaga, hingga Ki Pandanarang menjadi seorang wali dengan sebutan/gelar “Sunan Bayat” karena menyebarkan agama islam di daerah Bayat. Dan Ki Sambangdalan menjadi seorang wali juga dan disebut sebagai “Syekh Domba” karena kepalanya pernah menjadi domba. Setelah Sunan Bayat memeproleh beberapa karomah, maka suati hari dia menyamar sebagai tukang pembuat kue srabi. Sehingga setiap hari ikut ke pasar bersama majikannya. Pada suatu saat, jualannya sangat ramai diserbu pembeli. Karena laris terjual, hingga kehabisan kayu bakar yang banyak, maka pembeli pun banyak yang kecewa. “Kau memang orang yang teledor. Bagaimana sekarang? Apa dapat bila tanganmu dijadikan kayu bakar?”, kata majikan itu penuh dengan sinis.
Dengan cercaan majikannya itu,Sunan Bayat sabar dan tenang, lalu memasukkan tangannya ke dalam tungku dapur, ternyata tangan itu mengeluarkan api dan seketika itu gemparlah orang-orang yang ada dalam pasar hingga mulai mendekatinya untuk menyaksikan kejadian aneh tersebut. Kue yang digorengnya tetap laris dan pembeli sambil melihat hal itu. Setelah mengetahuinya bahwa yang menjadi pelayannya itu Sunan Bayat mantan Bupati Semarang, maka penjual kue srabi itu menyesali semua perkataan keras yang pernah dilontarkannya. Dan akhirnya suami istri (penjual srabi) itu berulang-ulang minta ampun kepada Sunan Bayat yang telah disakiti hatinya.
Dengan demikian kedua-duanya menjadi pengikut setia Sunan Bayat dan hari-harinya diisi dengan mendalami ilmu agama islam. Itulah cerita bagaimana seseorang mulai mencari guru sejati dalam ilmu agama islam dan menemukan guru tersebut. Lalu berguru dengan penuh kesungguhan, sehingga dia bisa menjadi guru yang sejati pula bagi para pengikutnya.

Komentar